Pada Indonesia 4.0 Conference & Expo 2022 yang diadakan di Hotel Bidakara pada 24 - 25 Agustus 2022, Siemens menampilkan teknologi advanced planning and scheduling yang memungkinkan industri manufaktur secara efisien melakukan pengelolaan sistem perencanaan produksi, pengurutan dan penjadwalan sesuai dengan lini produk, formula, dan aset produksi. Sektor Dirgantara & Otomotif, Semi-Konduktor & Elektronik, Makanan & Minuman, dan Produk Konsumsi termasuk industri di Indonesia yang sudah siap untuk menerima konsep advanced planning and scheduling. Solusi ini menggunakan perhitungan yang akurat untuk menganalisis dan menghitung jadwal produksi yang dapat dicapai, dengan mempertimbangkan berbagai kendala dan aturan produksi yang memungkinkan industri manufaktur menghasilkan dan mengevaluasi beberapa skenario yang mungkin terjadi. "Kalangan industri pada umumnya tidak dapat bereaksi dengan cepat dan cerdas pada perubahan tanpa adanya alat perencanaan dan penjadwalan. Waktu yang diperlukan untuk membuat jadwal dengan menggunakan lembar kerja dapat memakan waktu berjam-jam atau bahkan berhari-hari dan cukup sulit untuk terus menerus memperbaharuinya. Namun, ada tren baru yang mengarah pada tindakan prediktif dengan menggunakan advanced planning and scheduling sehingga dapat menyinkronkan ribuan sumber data dan menghasilkan jadwal produksi yang lebih akurat,” kata I Putu Agus Sugita, Account Manager Food & Beverage Industry, Digital Industries, PT Siemens Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menunjukkan pertumbuhan industri pengolahan non-migas sepanjang tahun 2021 sebesar 3,67%. Selain itu, industri kimia, farmasi, dan produk obat tradisional melanjutkan tren positifnya dengan pertumbuhan 9,61%. Siemens meyakini bahwa konsep advanced planning and scheduling bisa membantu industri manufaktur untuk memproduksi komponen secara lebih efisien dan pada saat yang sama meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi. Dengan demikian, konsep advanced planning and scheduling bisa membantu sektor industri Indonesia dalam meraih kembali status sebagai motor utama penggerak perekonomian. Siemens juga memberikan kontribusi positif terhadap percepatan implementasi program Making Indonesia 4.0 di Indonesia. Bersama-sama dengan Direktorat Jenderal Industri Agro, Kementerian Perindustrian, kami berbagi pengetahuan dan wawasan mengenai penerapan Industri 4.0 kepada industri makanan dan minuman. Kami mendayagunakan kemampuan, keahlian, dan jaringan global perusahaan untuk mendukung sektor makanan dan minuman Indonesia melalui pengetahuan dan teknologi yang dapat diterapkan sepenuhnya dalam desain produk, lini produksi, operasi, dan pemeliharaan sehingga menciptakan industri manufaktur masa depan yang dapat menjembatani dunia nyata dan dunia maya. Siaran pers, foto, dan materi lainnya tersedia di www.siemens.co.id/press
Bayer memperluas jangkauan program holistik “Bayer untuk Indonesia” (BISA) dengan menyasar 8.000 keluarga tani di Kecamatan Pamijahan, Bogor. Berlokasi di empat desa: Ciasihan, Ciasmara, Gunungsari dan Purwabakti, Bayer akan menjalankan edukasi dan intervensi berkelanjutan kepada masyarakat setempat guna meningkatkan produktivitas lahan dan ekosistem tani, perawatan kesehatan mandiri, perencanaan keluarga, hingga penanggulangan stunting. Pada peresmian program BISA yang berlangsung hari ini (12/8) di Desa Ciasihan, Kecamatan Pamijahan, Bogor, Jawa Barat, turut hadir Kepala Desa Ciasihan, Lilih N., President Director Bayer Indonesia Kinshuk Kunwar, serta Direktur Eksekutif Mercy Corps Indonesia Ade Soekadis. President Director Bayer Indonesia Kinshuk Kunwar menyampaikan, “Sebagai perwujudan dari visi perusahaan, ‘Health for All, Hunger for None’, hingga 2030 mendatang, Bayer di Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan 4 juta petani lahan kecil, 1 juta masyarakat ekonomi rendah, dan 1 juta perempuan di perkotaan/pedesaan. Program holistik ‘Bayer untuk Indonesia’ yang kami jalankan sejak 2020, berfokus pada bidang pertanian dan kesehatan yang menjadi keahlian Bayer. Pada ranah pertanian, kami berupaya menghadirkan akses terhadap inovasi termutakhir, pengetahuan yang relevan, serta kemitraan, guna meningkatkan pendapatan petani. Sementara, pada ranah kesehatan, Bayer memberikan pelatihan kesehatan mandiri, akses terhadap alat kontrasepsi, hingga edukasi penanggulangan stunting. Bersama-sama para mitra dan dukungan dari pemerintah, kami optimistis mampu berkontribusi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan petani Indonesia.” Sebelumnya, BISA telah sukses menjangkau 800.000 keluarga petani di 15 provinsi Indonesia. Dampaknya, produktivitas pertanian dari penerima manfaat rata-rata meningkat hingga 20 persen, bahkan menaikkan pendapatan hingga 30 persen. Berbicara tentang produktivitas pertanian yang meningkat, tentu tak bisa lepas dari ekosistem tani yang kuat. Selama 2 tahun penyelenggaraan, 477 Better Life Farming Center (BFLC) atau kios cerdas pertanian telah berhasil dikembangkan, dan 100 pengusaha perempuan tani telah mendapatkan pelatihan kewirausahaan. - Bayer juga telah melatih 100 tenaga kesehatan profesional dengan metode training of trainer sehingga edukasi yang diberikan dapat diteruskan kepada lebih banyak kader kesehatan di area penerima manfaat. Keseriusan Bayer dalam meningkatkan kapasitas kesehatan perempuan, diwujudkan dengan memberikan edukasi dan pelatihan terkait kesehatan perempuan serta pencegahan stunting, dan telah menjangkau 32.146 perempuan. Yang terbaru, implementasi BISA dipusatkan di Desa Ciasihan, Ciasmara, Gunungsari dan Purwabakti, yang berlokasi di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Terletak di area penyanggah Ibu Kota dan hanya berjarak tempuh 2,5 jam dari DKI Jakarta, masyarakat di wilayah ini masih menghadapi 2 masalah utama terkait pertanian dan kesehatan. Desa Ciasihan, contohnya, petani setempat tengah berhadapan dengan produktivitas yang tidak optimal lantaran keterbatasan lahan dan penggunaan metode pertanian yang masih tradisional. Sementara, pada bidang kesehatan, masyarakat Desa Ciasihan juga mengalami situasi yang tak kalah menantang; dari tingkat kesertaan KB yang rendah, sampai prevalensi stunting yang masih di atas 10%.1Bahkan, fasilitas kesehatan yang tersedia pun sulit dijangkau sehingga berakibat banyak masyarakat yang mencari pengobatan alternatif, seperti ke dukun. “Kami menyambut baik inisiatif BISA dari Bayer, yang memberikan solusi menyeluruh bagi situasi yang kami hadapi. Dengan adanya program ini, warga Desa Ciasihan kini memiliki akses dan juga bekal untuk mengembangkan usaha pertanian sekaligus meningkatkan kualitas kesehatan mereka. Kami berharap inisiatif ini bisa terus dilakukan sehingga hasil yang dirasa bisa lebih optimal dan berdampak pada kesejahteraan dan kesehatan masyarakat desa,” ungkap Kepala Desa Ciasihan, Lilih N. Di Pamijahan, Bayer menargetkan program BISA dapat memberikan manfaat kepada 8.000 petani dan keluarga tani; meliputi pendampingan kepada 2.000 petani lahan kecil dan 1.000 petani dan keluarga tani perempuan, edukasi kepada 10 bidan yang selanjutnya akan melatih 220 kader kesehatan dari 43 Posyandu, serta pengembangan 3 BLFC. Better Life Farming Center merupakan bagian dari ekosistem pendukung pertanian yang Bayer bangun untuk memudahkan petani setempat dalam mengakses teknologi pertanian, serta menjamin keterlibatan mereka dalam mata rantai nilai pertanian. Pendampingan kesehatan yang dihadirkan antara lain perawatan kesehatan mandiri, edukasi kesehatan perempuan dan pembagian alat kontrasepsi, serta edukasi gizi kepada perempuan dan ibu hamil guna mengurangi beban pengobatan di pusat kesehatan dan menanggulangi stunting. Dalam menjalankan BISA, Bayer bermitra dengan Mercy Corp Indonesia sebagai mitra pelaksana, serta mendapat dukungan penuh dari perangkat desa setempat. Direktur Eksekutif Mercy Corps Indonesia, Ade Soekadis menyampaikan, “Setelah berjalan selama lebih dari 2 tahun, program pemberdayaan petani yang dilengkapi dengan intervensi di bidang kesehatan yang mumpuni, terbukti mampu memberikan dampak yang optimal dalam upaya membangun kemandirian desa. Kami percaya, melalui program kolaboratif seperti ini, bersama-sama kita dapat membantu pemerintah untuk membangun masyarakat dan Indonesia yang lebih kuat.”
On August 18, 2022, The German Embassy in Indonesia announced that, effective immediately, Indonesian passports without a standardized signature column can be validated with an officially certified signature by an Indonesian passport authority and be further processed for visa applications. As per the announcement, Indonesian passport holders who are applying for a visa are requested to have their signature on page 4 (or 5) of the passport officially notarized (also known as an endorsement) by an Indonesian passport authority for the visa procedure. The announcement further stated that the Federal Ministry of the Interior and Community has informed the Federal police, which is responsible for border control, that Indonesian nationals with passports without an endorsement field and a visa already included in them may travel to Germany for a transitional period (Until August 31, 2022). However, passport holders without an endorsement field and a visa included are strongly urged to obtain an official signature certification from an Indonesian passport authority (at the nearest Immigrations office in Indonesia or at Indonesian missions abroad if overseas) as soon as possible. Lastly, the German Embassy in Indonesia stated that the embassy, as well as the external visa provider VFS Global, would immediately inform Indonesian visa applicants with the relevant steps for further visa procedures. For the official information, check here (https://jakarta.diplo.de/id-id).
As one of the top five contributors to GDP in the manufacturing sector, the textile industry has long been playing an important role in promoting the Indonesian economy. In the third quarter of 2019, it recorded a growth of 15.08% – the highest among other manufacturing sectors. Last year, this industry generated foreign exchange with an export value of US$13.02 billion and absorbed a workforce of 3.65 million people. In this regard, it is not surprising that the textile industry is regarded as a strategic sector in the Making Indonesia 4.0 roadmap. The Need for Textile Machinery Revitalization Indonesia’s textile industry began modernizing a century ago and reached its peak in the 1980s. However, until the 2000s, the machines used in this old industry have barely been revitalized. Only in 2007 did the Indonesian government – through the Ministry of Industry – start to tackle this structural issue by launching the Indonesian Textile Restructuring Program. Up until 2015, it has provided financial assistance of 25% of the price for the purchase of domestic machines and 10% for imported machines. As a result, the industry received an additional machinery investment of Rp13.82 trillion. The program has also triggered local banks to ease the loans for small- and medium-sized textile companies. Consequently, production capacity increased by 21.75 percent and production realization increased by 21.22 percent. Despite these favorable advancements, the use of old machines with low productivity remains a challenge, at least if the government wants to meet the high demand for textile products domestically and internationally. In fact, around 70% of machines used in the industry are old and have a 50% less productivity rate, as stated by the Indonesian Textile Association (API) in 2019. The textile industry is indeed very dependent on sophisticated equipment and machinery. Concerning this, the Ministry of Industry, in 2019, promised to accommodate textile machinery importation. In continuation of the previous program, the Ministry of Industry allocated a total of Rp3 billion for the revitalization of the fabric refinement and printing industry in September 2021. Most recently, the government has prepared another Rp8.5 billion in financial assistance, and around 250 companies have participated in the socialization. Ultimately, the program is expected to support the technological advancement of Making Indonesia 4.0, focusing on artificial intelligence, the internet of things, augmented reality/virtual reality, advanced robotics, 3D printing, and machine-to-machine communication. Opportunities and Goals The landscape of Indonesia’s textile industry presents golden opportunities for investors, particularly in the supply of sophisticated machinery and production equipment, as well as capacity building. Its business climate is even more lucrative due to the rising purchasing power of the population and the proliferating e-commerce platforms. Such a positive consumer behavior to follow lifestyle trends would stimulate high demand for functional textiles used in apparel, automotive, fitness, sports, and military goods. This is exactly the segment that Indonesia strategically targets. The recently-established Industrial Services and Solution Center (ISSC) facility at the Center for Standardization and Textile Industry Services (BBSPJIT) is at the forefront of its development. It provides information services, testing, calibration, product and quality system certification, technical training and consulting, formulating standards in the textile sector, and providing inclusive and professional assistance to the textile industry. This integrated infrastructure will not only help meet domestic demand but also increase the competitiveness of the textile industry in the global market, especially in the EU – one of Indonesia’s main export destinations. Knowing that Indonesia is negotiating with the EU to reach the Indonesian-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA), the Indonesian textile industry also sees an opportunity to draw level with Vietnam and Bangladesh – the two countries that already have free trade agreements with the EU. In the meantime, the Indonesian government continuously strives to build a textile industry ecosystem that is productive, connected, and sustainable. By 2030, the country expects to become one of the big five global textile manufacturers and the world’s top ten economies in the era of Industry 4.0.